Minggu, 20 November 2016

PROFIL SUTARDJI CALZOUM BACHRI



   Sutardji Calzoum Bachri lahir di Rengat, Indragiri Hulu pada 24 Juni 1941.  Setelah mengecap pendidikan sekolah dasar hingga SMA, Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan sekolah tingginya di Universitas Padjadjaran ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara. Sutardji Calzoum Bachri adalah pujangga Indonesia terkemuka dan beliau  memiliki gelar sebagai Presiden Penyair Indonesia. Selain itu, Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai sastrawan pelopor puisi kontemporer.
  Sutardji Calzoum Bachri pada awalnya menulis dalam surat kabar serta mingguan di Bandung, setelah itu barulah sajak-sajaknya dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana. Kemudian Sutardji Calzoum Bachri memulai mengirimkan pula sajak-sajaknya ke koran lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Padang.
Hasil gambar untuk foto sutardji calzoum bachri    Pada 1974, Sutardji Calzoum Bachri berkesempatan untuk mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam, Belanda. Setelah itu, beliau mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat pada oktober 1974 hingga april 1975. Sutardji Calzoum Bachri memperkenalkan cara yang dimilikinya dalam pembacaan puisi di Indonesia.
    Karya-karya Sutardji Calzoum Bachri dalam bentuk kumpulan puisi yaitu “O” pada 1974, “Amuk” pada 1977, serta “Kapak” pada 1979. Ke tiga kumpulan puisi Sutardji Calzoum Bachri mencerminkan pembaharuan yang jelas terhadap puisi Indonesia modern. 
   Kumpulan puisi tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang dimuat dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the Word (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia), Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststiching), Ik wil nog duizend jaar leyen, negen modern Indonesische dichter (1979), dan Journal of Southeast Asean Lietrature (1997).
  Dari karyanya tersebut Sutardji Calzoum Bachri meraih penghargaan dari South East Asia Writer Awards dalam sastra di Thailand serta penghargaan Anugerah Seni Pemerintah Indonesia (1993), Anugerah Sastra Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia Jakarta (1990), dan Sastra Chairil Anwar (1998).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar