Judul : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : September 2012
Tebal : 494 halaman
Amba adalah anak dari keluarga seorang guru yang
dikagumi oleh pihak sekolah, bahkan ayahnya pernah diundang untuk menghadiri
pertemuan antar guru unggulan di UGM Yogyakarta. Walaupun ibunya adalah bekas
kembang desa, tapi toh Amba tak begitu menggugat, malahan makin meningkatkan
kreatifitasnya. Amba yang dikenalkan seseorang bernama Salwa oleh orang tuanya
tak begitu mempertanggungjawabkan dan lenyap kredibilitas ketika ia menerimanya
sebagai janji dan akan kasih sayang. Walaupun harus runtuh di lelaki lain yang
bernama Bhisma, gejolak batin lebih mengharukan.
Ketika mengalami kebingungan yang begitu kontras
menapaki janji terhadap Salwa. Namun, dibalik parasnya yang sederhana, ia tak
kenal menyerah. Begitu berbeda dirinya dengan kedua saudara kembarnya yaitu Ambika
dan Ambalika yang agak tenang saja, monoton. Amba lebih menjunjung
pendidikannya ketimbang cepat berkeluarga, dengan hasil memuaskan di tingkat
sekolah menengah ia lanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi di Yogya,
UGM. Dengan mengambil program sastra bahasa Inggris, ia mendapatkan keberungan
di kampusnya. Amba mendapatkan lowongan kerja sampingan di sebuah rumah sakit
yang berlokasi di Malang sebagai penerjemah. Di tempat itulah asal-usulnya Amba
mengenal Bhisma seorang dokter lulusan dari Leipzig, Jerman Timur.
Kehidupannya di tengah kekisruhan yang mengintai di mana-mana
antara PKI dan varian organisasi sayap kiri dengan aparatus negara, yang
terutama militerisme serta para agamawanman maupun kalangan masyarakat sendiri
tak dapat dielakkan. Menderai berangsur menjadi makin besar dan menjadi dinamik
di tengah kekacauan. Itulah fenomena yang berkelebat di tengah kehidupan Amba.
Bahkan menerka, sampai pada suatu pertemuan besar yang telah diformulasikan di
Universitas Res Publica terpaksa tersungkur, dibubarkan dengan tembakan dan
kekerasan. Terjadi malapetaka yang memisahkan antara Amba dan Bhisma di
kerumunan yang berjejalkan ideologi kiri. Pengasingan bagi orang-orang yang
dianggap tahanan politik telah dilegitimasikan oleh pihak negara di atas system
administrasi manipulatif.
Amba yang merasakan perpisahan itu mengalami keraguan
dan kecemasan yang mengawang. Sampai beberapa hari ia kepikiran setelah insiden
kericuhan itu berlalu. Bahkan apakah ia masih akan bertemu kembali Bhisma. Pikiran
itu yang sering mencuat hadir meracau. Namun perjalanannya tak mudah ia
putuskan. Dengan beberapa kenangan luka yang menggores di hatinya, ia luput dan
mengenyahkan semua tentang keluarga, kerap tak mau mereka menanggung semua apa
yang dihadapinya. Hanya dengan surat-menyurat, menampik segala ingkarnya. Dan
Amba kecewa terhadap dirinya sendiri yang tak bisa menjaga kehormatan, kasih
sayang Salwa dan orangtuanya. Amba menitihkan goresan luka kembali ketika
sepeninggalnya Adielhard disebabkan kanker akut, yang setelah menjalani
pernikahannya.
Kini, suatu masa baru yang penuh guratan tak asri,
penuh teka-teki yang harus ia jebol di tanah Maluku. Penginjakannya di tanah
ada sampai di pulau Buru Amba baru mengerti dan menyadari semuanya. Dari sekian
waktu menunggu tak kunjung ada kepastian, yang sebenarnya kini menjadi
tersingkap. Bahwa tabir yang selama ini tertutup telah luluh dengan kebenaran.
Bhisma yang dikhawatirkannya benar-benar telah mati. Ia memiliki istri anak
dari kepala adat, yang bernama Mukaburung. Bhisma sang resi dihormati berkat
perjuangannya pula harus rela mempertahankan dirinya sampai akhir hayatnya
hingga tewas tertembak.
Amba yang menuntut kepastian menemukan kebenaran dari
keseluruhan cerita yang diprolehnya. Ketika mendapati pemakamannya dan
meringkik tersedu diatasnya, tiba-tiba kebimbangan menghentikan isakan rintihan
yang keluar dari dalam kejujuran Amba. Sebab kehadiran Mukaburung mengacaukan
semuanya, tanpa disangka terjadilah peristiwa penikaman sekaligus sayatan di
heningnya pemakaman. Mereka berdua beradu nyali yang diakibatkan
kesalahpahaman. Perawatan intensif diupayakan bagi mereka. Setelah penyembuhan,
izin keluar dicanangkan. Dan kebebasan Amba pun menjulur. Ia tak lagi meratapi
ketidakpastian, yang ia peroleh kini hal yang telah terjadi. Mengakui itu
adalah keharusan. Berakhirlah kisah Amba di Pulau Buru dengan curahan yang
telah terkubur.
Keunggulannya ada pada cerita yang bernaratif corak
realisme dan eksistensialisme. Mengambil latar belakang tempat-tempat yang
menjadikan sejarah tetap hidup seperti rumah sakit Waeapo, Universitas Res
Publica. Plotnya diselingi estetika Srimulat dan hikmah Mahabharata yang
beradengan modernisme. Bahasanya yang lugas, memudahkan mengajak berpetualang
dari Pulau Jawa sampai di tanah Maluku.
Kekurangan mungkin hanya ada pada subjektif yang tak
begitu fasih mengetahui perawakan orang lain secara objektif maupun subjektif.
Novel ini memiliki cerita yang mengisahkan masa lalu sebagai bagian terobosan
kebenaran. Hanya dengan penentuan, perjuangan dan rasa keingintahuan membawa kita
membuka pandora bersejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar